Wednesday, September 27, 2006

Pasrah


Kusimpul senyum untuk mendung di sudut pagi
Mendekap kuat bilik hati yang terjajah luka
Coba berdamai dengan dunia, mengubur dendam
Kuterima yang tersurat kini...

Mungkin akan lebih mudah
Meski semua takkan kembali
Takkan berubah dan menghilang selamanya
Menuntut pasrah pada jiwa yang letih dari berontaknya

Akan aku jalani kelok demi kelok dunia
Sampai tiba sang waktu memanggil
Menemputku dengan nisan berukir nama...

Jiwa


Jiwaku tak pernah menua
hanya raga yang kian renta
Jiwaku akan tetap menari
Selama hidup dan kehidupan masih dipinjamkan oleh-Nya
Meski tubuh ini tak lagi sanggup menopang

Bajingan



Caci dan maki telah menjadi bahasaku
Dengki dan dendam adalah ruh yang bersemayam dalam tubuhku
Terbenam hati sang iblis yang kupinjam sejak udara mengaliri jantungku
Aku seharusnya tak pernah terlahir...

Di balik kabut


Berpijak diatas tanah murni dalam sapa sang kabut
Basuh mata hati dari noda-noda zaman
Yang tak mengenal norma dan kemuliaan

Kureguk kesejukan yang tersaji oleh hijau dedaunan
Dilenakan untaian puisi dan lagu yang terlantun oleh burung dan serangga
Kubiarkan diriku terbuai aroma kedamaian khas Pangrango
Aku tak ingin pulang...

Cacat



Wujudku sebuah karya ukir waktu lampau
Terpahat tanpa pemahaman hidup
Manusia rapuh dan tak pernah siap berdiri diatas bumi

Tuesday, September 26, 2006

Lelaki dan sekat kaca



Tanpa kau sadari
Aku selalu memandang kerling mata dan
Menikmati tawamu yang tak termiliki
Sesekali berbicara dan menukar senyum
Tak kau tangkap sebuah arti...

Karena kau tak pernah tau
Pesanku tak mungkin sampai
Sekat ini terlalu tebal untuk kutembus
Aku dan dirimu berpijak diatas waktu dan dunia yang berbeda
Kau takkan pernah tahu

Cinta tanpa balas (gunung salak)



Tahukah kau...
Telah kuputus untuk menutup hati yang bertabur sekam,
Peluhku tak cukup membasuh perih

Cepat!!...
Bawa jauh paras cantikmu
Karena yang kureguk hanya nestapa

Takkan lagi kudamba hadirmu dipelupuk mata
Karena yang kunikmati hanya sepi
Pergi!... Tolong pergilah!!...

Sesak



Bagaimana bisa aku memandang hidup dengan bijak
Sementara langitku begitu sempit...

Bagaimana mungkin aku menyimpul senyum
dihadapan kenyataan yang menyeringai keji
Sementara nafasku tersengal-sengal

Buta


Aku mencoba belajar dari apa yang kudengar, kulihat, dan kurasakan
Tapi aku tidak mengerti, tetap tidak mengerti

Terkutuk


Saat bait-bait magis tak lagi berkhasiat untuk selamanya
Jiwa-jiwa gelisah serentak terpisah jauh dari damai
Terbakar dalam kemarahan dan keentahan

Tak Pernah bisa



Sungguh...
Aku tak bisa bawa hatiku pergi dari hadapmu
Mustahil berpaling dari binarmu
Tapi kenyataan yang menyeretku pergi

Tak kuasa kutolak...
Namun ku enggan menghirup harum bunga-bunga istana
Gantikan wangi tubuhmu dari nafasku
Aku termangu diperbatasan langitmu

Gagal


Hampa hati singgah menjemput letih
Mendung datang setelah kalah perangi hari
Dan kesekian kalinya...
Tak ada yang kumenangkan

Mengapa Kau kecualikan aku Tuhan?!
Sementara yang lain bersulang atas pencapaiannya
Diluar sana terlalu banyak pecundang
Tak cukupkah bagi-Mu?

Hingga Kau hadiahkan kegagalan untukku
Mengapa tak Kau akhiri saja aku...

Monday, September 25, 2006

Waktu


Aku pernah bertanya pada sang waktu...
Akankah kau menyerah pada semangat hidup manusia?
Dan ia menjawab... Akan kuhadiahkan sedikit lagi diriku untuknya!

Yang tertinggal


Aku dan kenangan
Yang pergi dan ditinggalkan
Menjadi rindu tak terbayar
Melangkah mundur hanyalah asa
Melangkah maju barulah nyata
Dan aku terjebak di tanah perbatasan
Aku yang pergi atau kenangan yang tinggalkanku?

Jati diri


Aku harus temukan diriku yang belum kukenal
Meski harus jelajahi belantara hidup yang tak ramah
Aku harus tahu. Siapa aku?...
Tak akan kutanya langit ataupun bumi
Mereka hanya akan tersenyum tak bermakna
Hanya dengan kemurahan sang waktu
Kudapat temukan cahaya untuk memapahku

Menjalani waktu


Jiwa manusia tidak pernah tua
Hanya raga yang semakin renta
Dan waktu adalah malaikat_Nya yang paling kejam
Kita diberi masa-masa indah
Setelah itu di renggut kembali tanpa perlu menyapa